https://www.youtube.com/watch?v=vXcgNmlLGq8&feature=gp-n-y&google_comment_id=z12stxbxgvyvztkxa04cdtl5cpueivxqsu00k
yuk dilihat
Sabtu, 28 Mei 2016
Senin, 23 Mei 2016
Cerita Pendek
Rentan Terluka
Matahari
masih memancarkan sinar panasnya di kota Tg.Pinang. Aku melirik jam tangan ku,
ternyata baru pukul Sebelas lewat dua menit. Aku memilih menghabiskan jam
pelajaran ku kali ini sendiri dikantin. Sekarang aku duduk dikelas XII SMK, semakin
ingin menghadapi ujian akhir, aku merasa guru-guruku semakain santai dengan
banyaknya jam kosong yang kurasa saat ini. Aku juga termasuk salah satu anggota
OSIS dengan jabatan sebagai sekretaris. Walaupun aku sebentar lagi lulus, namun
kesibukan saat berada di OSIS tak mungkin secara langsung ku lupakan. Jenuh
juga kurasakan sendiri selama beberapa tahun terakhir. Ku rasa ini saatnya aku
mencarai kekasih lagi saat kejadian itu berlalu dengan begitu menyedihkan.
Kurasa semua perempuan pasti menginginkan seorang kekasih yang perhatian,
termasuk aku juga. Dulu ketidaksabaran ku membuat ku kehilangan orang yang aku
cintai. Namaku Riska, dan ini kisah laluku.
Minggu
pagi anak-anak OSIS mengadakan rapat untuk pembentukan OSIS yang baru. Hari itu
aku sangat sibuk dengan segala kerjaanku. Hingga sore datang pekerjaan ku akhirnya
selesai dengan tepat waktu. Kurasa ingin saja ku pulang, karena lelah yang begitu penat membuat badanku seperti kaku.
Disaat kami sudah selesai rapat dan kami ingin pulang, aku berdiri dan pergi
keparkiran. Tiba-tiba saja rini datang dengan cepat dan memanggilku.
“eh ris, ada yang mau
kenalan sama kamu tuh.”
“kenalan? Siapa?”
tanyaku padanya.
“namanya Jeri, anak
gambar bangunan itu loh ris. Dia juga minta nomor hp kamu, aku kasi aja ya
ris.”
“eh apaansih, gak
usahlah. ngaco kamu ah. Ntar
ujung-ujungnya gak jelas, malesin banget.”
“jelas ris,, jelas dia
pasti jelas. Gak apa-apalah, anaknya manis jugak kok. Ituloh dia yang minta
izin keluar tadi waktu kita rapat. Yang pake baju putih jogja itu, lihatkan
tadi?”
“aku gak lihat dan gak
merahatiin jugak sih.”
“jadi gimana? Kasi gak
ni?”
“yaudahlah, terserah
kamu aja.”
“okay.”
Malam itu aku sedang membuat tugas di kamarku. Aku baru
saja ingin menyelesaikan tugas ku tiba-tiba saja handphone ku bergetar dan ada sms masuk dari nomor yang tak
kukenal.
“selamat malam, ini
riska ya?”
“iya, ini siapa ya?”
“ini aku jeri. Yang
tadi minta nomor kamu dari rini.”
“oh, ada apa jer? Ada
yang bisa aku bantu?”
“gak ada kok ris, aku
cuma mau kenalan aja sih sama kamu. Bolehkan?”
“iya boleh kok jer.
Kalau gitu salam kenal ya.”
“oke ris, kamu lagi
ngapain?”
“aku lagi buat tugas,
kamu sendiri lagi ngapain? Gak belajar?”
“lagi belajar juga kok
ris”
“oh baguslah kalo
gitu.”
Setelah itu dia tak
membalas lagi sms ku.
Seminggu berlalu,
aku semakin akrab dengan jeri. Tak terasa sudah hampir minggu ketiga aku
kenal dengan dia. Jika bertemu disekolah, kami selalu saling sapa dan dan
tersenyum malu. Jeri begitu baik, tak jarang juga dia membantu ku membuat tugas
sekolah. Terus dia juga perhatian kepadaku. Hingga pada akhirnya tepat malam
minggu, disaat aku sedang berkumpul dengan keluarga besarku. Jeri mengungkapkan
perasaannya kepadaku lewat sms singkat tanpa basa-basi yang berisikan.
“ris, aku suka kamu.
Kamu mau gak jadi kekaasih ku?”
Hatiku langsung
beregetar saat jeri mengatakan itu, kata-kata yang tak pernah kuduga sebelumya.
Waluapun lewat pesan singkat, tapi aku tetap menghargai perasaanya kepdaku.
Laliu kujawab saja dengan singkat pula.
“terima kasih atas
kejujurannya malam ini, tapi maaf ya jer, aku belum bisa jawab iya atau
tidaknya. Karena masih banyak hal dan waktu untuk menjawab semua itu.”
Lalu jeri membalas
dengan cepat. “ oke gak apa-apa kalau gak bisa sekarang, tapi besok pagi
kutunggu jawabannya ya ris.”
“iya.” Kataku
Bingung bukan main yang aku rasakan saat itu. Aku masih
ragu mau terima jeri atau tidak, Karen aku takut untuk sakit hati kesekian
kalinya. Akhirnya kupikir lagi matang-matang jawaban ku, krena ini tidak bisa
dijawab sembarangan. Ini menyangkut masalah hati, salah letak bisa saja retak.
Akhirnya kuputuskan setelah pikir panjang, bahwa aku akan menerima jeri dengan
satu syarat, bahwa dia harus bisa menjaga kesetiannya untuk ku, agar tak akan
ada yang sakit diantara kami kelak. Laalu kuketik sms singkat berisikan.
“iya, aku terima kamu.
Kuharap kamu bisa jaga kesetiaan mu agar tak
ada yang skait hati nanti.”
Dan jeri hanya
membalas. “ terima kasih banyak riska, aku janji akan jaga kesetiaan ku untuk
kamu.”
Hari-hari berlalu begitu indah semenjak ada jeri
dikehidupanku, rasanya aku sangat bersyukur tuhan memberikan jeri masuk kedalam
hatiku. Empat bulan berlalu, hubungan kami berjalan dengan begitu mulus, tanpa
perkelahian atau perselisihan pendapat. Semua dilalui dnegan hari-hari penuh
kasih sayang. Aku merasa jeri sangat mengerti aku, hingga pada akhirnya disaat
kami sama-sama menjadi panitia pesantren kilat. Mulai lah timbul permaslahan
antara kami hari itu. Dengan hujan yang turun pada hari itu, aku merasa hujan
mengerti perasaanku yang begitu sedih saat jeri meninggalkan aku di sekolah dan
dia pulang bersama temannya tanpa pamit kepadaku, tak biasanya dia melakukan
ini kepadaku. Tanpa minta maaf semenjak hari itu aku merasa dia seakan
menjauhiku secara perlahan. Aku bepikir bahwa jeri sepertinya sudah tak
menyayangiku lagi. Cuek tanpa sebab membuat aku akhirnya mengambil keputusan
bahwa aku ingin bubaran saja karena ku rasa sudah tak ada gunanya lagi kami
bersama-sama. Aku menyangi jeri tapi apa daya dia tak mempertahankan aku sama
sekali disaat aku memilih untuk bubar.
Asal kamu tahu jeri, aku memang bukan manusia terbaik
yang ada dibumi. Namun kau harus tahu, aku pernah mencintaimu dengan cara
terbaikku. Dengan begitu sempurna aku menyangimu. Tapi apalah daya, tak ada
guna aku menahanmu agar tidak lepas, namun pada akhirnya kau yang ingin
terlepas.
SELESAI
Analisis Cepen "Kemarau" Karya Andrea Hirata
ANALISIS STRUKTUR
DALAM CERPEN “ KEMARAU” KARYA “ANDREA HIRATA”
A. Deskripsi
Data
a.
Biografi Tokoh
1. Andrea
Hirata
Terlahir
dengan nama Aqil Barraq Badruddin Saman Said harun. Penulis lahir di Belitung,
24 Oktober 1977. Iaadalah novelis yang telah merevolusi sastra Indonesia. Ia
berasal dari Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Novel pertamanya adalah
Laskra Pelangi. Sudah banyak sekali novel-novel yang lahir dari tangan Andrea
Hirata. Beberapa diantaranya adalah : Laskar Pelangi (2005), Sang Pemimpi (2006),
Edensor (2007), Maryamah Karpov dan masih banyak lagi yang lain. Meskipun stdi
mayor yang diambil Andrea adalah ekonomi, ia juga amat menggemari sains-fisika,
kimia,biologi dan sastra. Andrea juga mendapatkan beasiswa program master di
Universitas Sheffield Hallam, Britania Raya.
b.
Sinopsis Cerpen “Kemarau” karya Andrea Hirata
Kisah seorang pemuda yang selalu
pergi ke tepi sungai dan memulai seluruh khayalan masa lalunya berimajinasi kembali. Dan
selalu saja emngingat isah tentang ayahnya yang selau berangkat kkerja pada
pukul dua pagi. Dan disana juga ia memulai kisah masa lalu nya tentang banyak
hal yang iya lalui dengan musim kemarau.
B. Analisis
Data
1.
Cerpen “Kemarau” karya Andrea
Hirata
a.
Struktur Cerpen
1).
Alur
1. Keberadaan tokoh dikampungnya yang terkena kemarau yang
berkepanjangan
2. Tiada orang yang betah dirumah begitu juga diluar akibat
kemarau.
3. Tak ada hiburan yang menark ditengah kota.
4. keberadaan tokoh aku menduga-duga dua buah patung yang
dilihatnya di tengah kota.
5. Tokoh menceritakan kisah museum.
6.
Tokoh mengatakan ada sebuah ruangan
yang berisi tentang peninggalan para hulu baling antah barantah.
7. Tokoh aku (Bujang) pergi kepinggir
sungai setelah ditanyai oleh penjual tebu.
8. Bujang duduk didekat kapal keruk timah
daerah pinggir sungai.
8.1 Kapal keruk itu satu-satunya tempat
melamun si Bujang yang pernah menjadi bagian penting dalam budaya nya.
8.2 Bujang tak pernah melupakan dimana truk
pengangkut menjemput ayahnya setiap pukul dua pagi.
8.3 Dari dalam rumah Bujang mendengar salam
yang diberikan ayahnya kepada teman-temannya.
8.4 Bujang mendengar gemerincing besi yang
selalu beradu dan berlalu meninggalkan rumahnya.
8.5 Bujang senang melihat ayahnya melompat
ke truk pengangkut.
8.6 Lalu Bujang tidur kembali setelah melihat
ayahnya berangkat kerja.
9. Sepuluh tahun berlalu saat Bujang mengingat semuanya dirongsokan
kapal keruk itu.
9.1 Bujang mengingat kembali jam di
tenag=gah kota sudah menunjukkan pukul 5 dan musim masih kemarau, saat ia
meninggalkan kampungnya dulu.
10. Sepuluh tahun telah lewat, di saat
Bujang melewati si penjual tebu dan pertanyaan nya masih saja sama.
11. Bujang pergi ketepi sungai lagi dan
melihat kapal keruk itu sudah tak ada.
12. Bujang pergi ke tempat penjual tebu itu dan
menanyai kemana pergi kapal keruk itu.
13. Bujang sedih dikarenakan seluruh
arkeologi industri telah dilanda tsunami.
14.
Bujang merasa ingin bergabung
dengan pera pejuang 45.
15.
Itu semua tak dilakukan oleh
Bujang. Diakibat kan karena ia terlambat pulang.
16. Bujang kembali ke Jakarta dan hidup
seperti biasa.
17. Bujang terbangun pukul dua pagi akibat
ia mendengar seperti suara truk yang bergemerincing seperti dimana ayahnya
dijemput kerja dulu. Dan ia langsung merindukan ayahnya.
Bagan Urutan Sekuen Cerpen “Kemarau”
Bulatan
yang tidak tertutup menunjukkan lamunan, sedangkan angka menunjukkan sekuen.
Cerpen itu terdiri dari 17 sekuen berada pada saat penceritaan, dan 6 sekuen
berada pada sorot balik (8.1-8.6),dan 1 sekuen pada sorot bolak balik (9.1)
jadi seluruhnya ada 24 sekuen. Apabila dilihat kembali jumlah sekuen pada
peceritaan ada (17 sekeun) lebih banyak
dari pada jumlah sekuen pada sorot balik. Maka jelaslah bahwa secara kronologis
alur cerpen ini disusun menggunakan alur maju. Karena pada cerpen dijelaskan
dari awal bahwa Bujang hanya mengingat-ingat sedikt masa lalunya. Lalu lebih
banyak menceritakan kejadian yang terjadi setelah itu.
2). Penokohan
a. Aku (Bujang)
Bujang
merupakan sosok seorang pemuda yang hidup ditanaah dimana dulu tsunami
pernah
terjadi. Bujang juga salah satu pemuda yang senang melamun di tepi sungai,
mengingat
kembali
masa-masa kecilnya.
“mau ke pinggir sungai” jawabku
dalam hati.
Dapat
dilihat dari kutipan diatas, bahwa Bujang adalah seseorang yang sering pergi
duduk
kesana
untuk merenungi kembali masa lalunya.
3). Latar
a.
Latar tempat
Pinggir sungai merupakan latar
tempat dalam cerpen ini. Karena didalam peristiwa ini
dapat
dilihat dalam kutipan berikut.
“mau kemana kau Bujang?” Tanya
penjual tebu yang berteduh dibawah patung pejuang 45.
“mau
ke pinggir sungai” jawabku dalam hati.
Dari
kutipan diatas dapat dilihat bahwa Bujang ingin pergi kepinggir sungai yang telah digambarkan oleh si pengarang.
b.
Latar
Waktu
Latar
waktu pada cerpen ini telah digambarkan dari kutipan yang ada pada cerpen,
salah
Satunya adalah:
“sering
aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi”
Latar waktu yang telah
ditampilkan dalam salah satu kutipan juga berdasarkan paparan diatas jelas bahwa
latar waktu yang telah diketahui berada pada pukul dua pagi.
4).
Tema
Berdasarkan cerpen yang telah
dilampirkan. Jelas bahwa tema yang diangkat oleh pengarang adalah tentang kisah –kisah lama yang terjadi dikampung
Bujang. Yang mengingatkan Bujang akan semua masa lalunya. Dan musim pada saat
itu tetap saja dengan musim kemarau.
KEMARAU
KARYA : Andrea
Hirata
Barangkali
karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati
tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena gerah. Barangkali
karena musim kemarau terlanjur berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat
tidak enak setelah bulan Maret sampai September.
Tak ada
yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di luar.
Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk-liuk seperti belut sawah di atas
panggung berhias pelepah kelapa di pinggir-pinggir pantai, lebih menyanyikan
maksiat daripada lagu. Tapi itu hanya lama-lama sekali, pun kalau harga timah
sedang bagus—yang amat jarang bagus.
Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau
pusat perbelanjaan untuk dikunjungi. Yang sedikit menarik perhatian hanya
sebuah jam besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum
pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum
panjangnya mengembuskan napas terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik
telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu ke mana. Melihat jam itu sejak
kecil, aku punya firasat, bahwa nanti jika dunia kiamat, kejadiannya akan tepat
pukul lima.
Penarik perhatian lainnya adalah dua buah patung, juga di
tengah kota. Patung pertama berupa seekor buaya yang sedang melilit sebilah
parang. Besar, tingginya mungkin enam meter. Sejak kecil pula aku telah
berusaha mencerna makna filosofis patung itu, tapi selalu gagal. Aku hanya
menduga-duga, buaya adalah perlambang lelaki hidung belang, maka, semua lelaki
pembuat parang patutlah dicurigai.
Patung
satunya lagi juga besar dan tinggi, adalah patung para pejuang kemerdekaan
tahun 45. Lengkap dengan senapan dan bambu runcing. Mereka mengacungkan tinju
dengan geram, siap menyikat Belanda. Juga sejak kecil aku bertanya-tanya,
mengapa pematung membuat kepala patung-patung itu secara anatomis sangat besar?
Baru belakangan ini kutahu jawabannya, yaitu di depan patung itu kini dipasang
papan reklame dan di situ para politisi sering berbusa-busa membanggakan
program-program mereka. Maka tampaklah kini para pejuang 45 itu seperti ingin
menonjok mereka. Jika ingin tahu definisi dari visi seorang seniman, patung itu
memberi contoh yang sangat pas. Jam besar, patung pejuang 45 dan papan reklame
itu adakalanya bagiku tampak bak panggung parodi, adakalanya bak wangsit, dan
adakalanya bak segitiga Bermuda, yang menyimpan misteri politik republik ini.
Namun, tak
pernah kami risaukan semua itu sebab kami punya sebuah museum, dan museum kami
adalah museum yang paling hebat di dunia ini. Tak ada yang bisa menandinginya
sebab ia museum sekaligus kebun binatang.
Baiklah,
mari bicara soal museum. Di sana ada sebuah ruangan yang jika dimasuki harus
membuka sandal dan mengucapkan assalamualaikum demi menghormati tombak-tombak
karatan, peninggalan para hulu balang antah berantah. Uang kecil diselipkan ke
dalam kotak di samping tombak-tombak itu dapat menyebabkan pendermanya awet
muda dan enteng jodoh. Anak-anak yang tak sengaja menunjuk tombak itu harus
mengisap telunjuknya agar tidak kualat.
Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan-hewan
berkeliaran. Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi
orang-orang yang ingin melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak serupa
kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk kering stadium 4. Setiap
kali dia batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya
memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di dalam
kalbunya. Ada orangutan uzur yang sudah ompong dan tampak terang-terangan
menafsui bebek-bebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama
sekali. Lalu ada singa tua kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa
itu sepertinya sangat benci pada hidupnya sendiri. Mereka muak melihat
orang-orang udik yang menontong mereka di dalam kandang. Konon, mereka
dihibahkan ke kampung kami karena telah afkir dari sebuah kebun binatang di
Jawa, di mana mereka dianggap tidak sexy lagi. Namun, seperti segala sesuatu
yang selalu kami terima apa adanya, seperti segala sesuatu yang tak pernah
berubah di kampung kami, makhluk-makhluk hidup segan mati tak mau itu selalu
punya tempat di dalam kebun binatang kami, di dalam hati kami. Hewan-hewan itu
menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari jenisnya masing-masing,
jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur-umur. Sungguh mengerikan hidup
ini kadang-kadang.
“Mau
kemana kau, Bujang?” sapa penjual tebu yang bertedu di bawah patung pejuang 45
itu. Malas aku menjawabnya. Karena ia selalu menanyakan hal yang sama padaku,
setiap kali aku melintas di situ, dan karena aku terpana menatap propaganda
yang dikoarkan politisi di papan reklame itu, megah bertalu-talu tentang
perubahan-perubahan yang akan mereka buat. Tanpa mereka sadari, mata nanar
mereka yang penuh optimisme tengah menatap jam besar yang telah rusak selama 46
tahun itu. Tanpa mereka sadari, para pejuang 45 mengacungkan tinjunya pada
mereka.
“Mau ke
pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Jika kemarau makin menggelak, aku
menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal keruk yang
termangu-mangu di sana. Kapal itu tinggal segunung besi rongsokan. Mesin besar
dan digdaya, dulu selalu dikagumi anak-anak Melayu. Ketika meskapai Timah masih
berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung kampung, menderu siang dan malam,
mengorek isi bumi untuk meraup timah. Kini, satu-satunya yang tertinggal,
tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti fosil dinosaurus.
Kapal
keruk pernah menjadi pendendangirama hidup kami, bagian penting dalam budaya
kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama 24 jam. Tak
kan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh kapal keruk
menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah di pagi buta itu
sambil menenteng rantang bekal makanan dari ibu.
Jika
melihatku terbangun, ayah kembali untuk mengusap rambutku dan tersenyum. Dari
dalam rumah kudengar ayah mengucapkan salam pada kawan-kawan kerjanya yang
telah berdesakan di dalam bak truk. Kawan-kawan kerjanya itu adalah ayah-ayah
dari kawan-kawanku. Lalu kudengar gemerincing besi beradu, kemudian truk
menggerung meninggalkan rumah.
Sering aku
minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi itu. Karena aku
ingin melihat ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh wibawa, yang ada test
pen di sakunya, yang berbau sangat lelaki. Ayah melangkah tangkas sambil
menyandang ransel berisi tang, ragum, dan sekeluarga kunci Inggris. Kunci-kunci
baja putih itu bila dibariskan akan membentuk segitiga yang sangat hebat.
Kubayangkan, tugas-tugas yang berat diemban oleh bapak kunci paling besar, dan
tugas-tugas sepele adalah bagian anak-anaknya. Aku senang melihat ayah melompat
ke dalam bak truk. Dia, pria yang gagah itu, penguasa sembilan kunci Inggris
anak-beranak itu, adalah ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi,
sambil tersenyum.
Sepuluh
tahun telah hangus sejak terakhir aku melamun di rongsokan kapal keruk itu. Jam
besar di tengah kota tepat menunjukkan pukul 5 saat kutinggalkan kampungku
dulu. Musim kemarau waktu itu. Sekarang, ketika aku kembali pulang, jam besar
itu masih saja menunjukkan waktu pukul 5, dan musim masih kemarau.
“Mau ke
mana kau, Bujang?” sapa penjual tebu waktu aku melintas dekat patung pejuang
45. Sepuluh tahun telah lewat, apa dia tak punya pertanyaan lain? Malas aku
menjawabnya. Lagi pula aku tengah terpana menatap propaganda para politisi di
papan reklame itu. Silih berganti mereka telah merajai papan itu. Periode demi
periode mereka telah berkuasa. Silih berganti mereka telah berkoar soal
perubahan-perubahan yang akan mereka buat, namun jam besar yang berada di depan
hidung mereka telah rusak selama 56 tahun, tetap rusak selama 56 tahun, dan
para pejuang 45, tetap mengacungkan tinjunya pada mereka.
“Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Aku
melenggang pergi. Tapi sungguh merana. Sampai di sana, yang kutemui hanya
semilir angin dan riak-riak halus gelombang. Bangkai kapal keruk itu telah
lenyap, macam telah disulap seorang illusionist.
Aku kembali. Pada penjual tebu aku bertanya.
“Pak Cik,
ke mana perginya kapal keruk itu?”
“Sudah
dipotong-potong menjadi besi kiloan,” jawabnya tak acuh sambil mengunyah
tebunya yang tak laku. Aku terhenyak. Sirna sudah kenangan manis itu, lenyap
sudah kebanggaan masa kecil itu, hapus sudah kebudayaan itu. Di kampung kami,
arkeologi industri telah dilanda tsunami. Saat itu, rasanya ingin aku memanjat
patung itu dan bergabung dengan pejuang 45. Namun tak kulakukan, karena aku
sudah terlambat untuk pulang, sudah sore. Kulihat jam besar itu, sudah pukul 5.
Musim
masih kemarau saat aku kembali ke Jakarta dan hidup berlangsung seperti biasa.
Suatu malam aku terjaga. Pukul dua pagi waktu itu. Lalu seakan terdengar suara
klakson mobil truk, dan menguar suara orang-orang mengucap salam. Kemudian
kudengar suara gemerincing besi saling beradu. Kulihat ke luar jendela, seorang
lelaki berkelebat dengan seragam mekaniknya yang hebat, lalu truk menggerung,
pelan-pelan meninggalkan rumah. Aku termangu. Kerinduanku pada ayah semakin tak
tertanggungkan.
Vancouver, Mei 2010
Diadaptasi dari salah satu bab dalam novel Padang Bulan dan Kisah-Kisah dari
Negeri Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata
Minggu, 22 Mei 2016
puisi
Senja
Aku Rindu
Karya : Anggi
Namora Hutasuhut
Digelapnya gulita.
Sepercik kasih memancar dengan dahsyatnya.
Gerimis bertaut membasahi raga.
Rinainya jatuh menjadi tangisan.
Walau jauh dan samar.
Namun terlihat jelas kerinduan itu.
Dimataku semuanya seolah membeku.
Namun kasihmu tetap selalu mencairkan segalanya.
Bunda, indahmu bagaikan senja.
Senyummu bagaikan fajar.
Kasih sayangmu terus tumbuh, hingga menjalar
keseluruh tubuh.
Bagaikan darah yang mengalir.
Yang mampu membuatku tetap hidup, tanpa berfikir
untuk runtuh.
Andai engkau tahu, bahwa kau adalah makna rindu yang
sebenar.
Rindu yang selalu mengganggu laju pernafasanku.
Rindu yang terus dan selalu menjadi makna detak dan
tafsir degup.
Hati ini selalu saja terasa kelam.
Yang pekatnya lebih hitam dari ukiran malam.
Sepenggal ragu menggurat asa.
Jika kerinduan itu muncul dan akhirnya tiba.
Kamis, 19 Mei 2016
Artikel Profil
ARTIKEL
Muhammad
Alfianto lahir di Tanjung Pinang, pada tanggal 01 April 1997, sekarang ia telah
menginjak usia 18 tahun. Ia termasuk salah satu pelajar yang berprestasi. Pria
berdarah Jawa ini, ialah anak kedua dari
tiga bersaudara dari pasangan Elita dan Bambang Suharto. Pria bergolongan darah
O ini memulai pendidikannya di SDN 011 Tanjung Pinang Barat pada tahun 2002 dan
lulus pada tahun 2008, lalu ia melanjutkan sekolahnya di SMP N 6 Tanjung Pinang
pada tahun 2008 dan lulus pada tahun 2011, dan setelah itu kembali melanjutkan
sekolah di SMA N 4 Tanjung Pinang pada
tahun 2011 dan lulus pada tahun 2014. Prestasi yang pernah di raihnya pada
jenjang Sekolah Menengah Atas ini ialah menjadi salah satu anggota dari pasukan pengibar
bendera pusaka (PASKIBRAKA) kota Tanjung
Pinang pada tahun 2013. Dan sekarang ia
telah memasuki jenjang perkuliahan di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH)
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan program studi pendidikan Bahasa Inggris
yang sekarang berada di semester 4, pada semester 3 lalu dirinya sempat memenangi
perlombaan peragaan busana Melayu di Batam pada tahun 2015 silam dan
mendapatkan juara 3 untuk tingkat Provinsi. Dan pada saat ini ia sedang
mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba debat bahasa inggris nya pada awal april
mendatang.
Cerita Pendek
Cinta
Tak Sama
Karya
: Anggi Namora Hutasuhut
Aku melompat ke luar dari gerbong
kereta, lalu menerobos kerumunan orang yang memadati stasiun kereta yang
berlokasi di kota pelajar itu. Kedua kakiku melangkah cepat agar keluar dari
kerumunan tersebut. Tiba-tiba mataku tertuju pada dua orang yang sedang
bertengkar. Seperti kehilangan arah laki-laki yang tidak terlalu tinggi dan
berambut cepak itu akhirnya mundur karena tak sanggup melawan pria separuh baya
yang mempunyai badan besar dan tegap. Tak lama kemudian pria berbadan tegap itu
terlihat ingin menghampirinya lagi dan ingin meninjunya habis-habisan. Lalu aku
segera berlari dan melerai pertengkaran itu, Hingga pada akhirnya semua orang yang
berkerumunan itu bubar. dan tinggal lah aku dengan pria berambut cepak itu.
“kenapa bertengkar
mas?” sapaku. Pada lelaki yang hanya terdiam tak mau bicara itu.
Kumulai percakapan lagi
agar memecah suasana. “minum mas?”
“tidak, terima kasih
mbak” lelaki itu menjawab dengan suara
yang sedikit berat.
“kenalin aku Risa.”
“gak usah pakai mas
lah. Panggil aja Arya”
“oke, kalau gitu jangan
panggil mbak juga ya” timpalku sambil bercanda.
“kamu asli jogja ya?”
katanya mulai bicara.
“oh, bukan. Aku baru
aja datang tadi dari bandung. Mau jalan-jalan sambil nyari-nyari ide gitu sih, tapi
disambutnya malah sama adegan pertengkaran kamu sama mas-mas yang tadi.”
Dia tersenyum malu,
sambil berkata “oh, maaf ya kalo gitu. kamu sendirian?” tanyanya padaku.
“iya” jawabku singkat.
“Berani banget ya”
“ya udah gede juga kan. Harus takut sama apalagi
coba? Ngapain takut sama manusia. Sedangkan kita punya tuhan yang maha besar
dan maha penjaga.”
“iya sih. oh ya, tadi
katanya mau jalan-jalan sambil nyari ide? Ide untuk apa kalau boleh tau?”
“ide untuk nulis, nulis
dongeng sih lebih tepatnya.”
“Kamu suka nulis? ya baguslah, nulis dongeng
itu susah lo”
“Bisa dibilang gitu
sih”
“oke, kalau gitu kamu mau kemana sekarang? Mau
ku antar?”
“cari hotel terdekat
aja sih. Gak ada keluarga juga disini, aku butuh lokasi terdekat sama tempat
wisata dan tempat yang tenang juga untuk ngeluarin ide-ide ku.” Kataku.
“oke, aku bakal bantu
kamu nyari hotel. Kamu lama disini?”
“sepertinya lumayan.”
“kurasa hotel terlalu
berat,kalau untuk tinggal lama. Aku ada sih teman cewek, dia ngekost sih disini. Aku bisa kok tanyain
dia. Boleh gak kamu numpang dirumahnya. Soalnya dia sendirian juga, gimana?
Kamu mau?”
“aku sih gak apa-apa,
tapi teman kamu mau nampung aku atau enggak?”
“maulah pasti. Dia baik
kok anaknya. Ngomong-ngomong makasih ya udah ngelerai pertengkaran tadi. Berkat
kamu aku enggak digebukin lagi sama preman tadi.”
“iya sama-sama.”
Lalu aku dan arya pergi menuju kerumah temannya itu. Dan
akhirnya berkat bantuan arya, aku tidak perlu susah-susah merogoh kocek untuk
bayar mahal kamar hotel. Lalu tinggal lah aku bersama ajeng teman arya. Hingga
akhirnya aku dan ajeng pun akrab. Aku senang bisa bertemu dengan arya yang
sangat baik, yang dengan sabar membawaku menyusuri seluk-beluk kota jogja
disela waktu senggangnya. Maklum arya salah seorang karyawan kantoran. Tak
terasa tiga minggu berlalu aku di jogja. Hanya karena perkenalan singkat di
stasiun, aku akhirnya bisa menjadi sedekat ini dengan arya. Lama kelamaan kami hampir
sering keluar berdua. Terkadang kami juga mengajak ajeng jika ia tak sibuk.
****
Sore itu aku dan ajeng
makan di warung bakso, dengan
berminumkan teh obeng yang tak seberapa manis itu.
“Arya itu anaknya manis
juga ya jeng, baik lagi,penuh misteri dan ngagumin banget.” kataku.
“yah begitulah arya sa.
Anaknya tekun, baik, sangat mengagumkan dan benar apa katamu tadi, penuh dengan
misteri.” kata Ajeng.
“gak nyangka banget
bisa kenal dia” kataku.
“kamu suka ya sama dia
sa, kalau menurutku sepertinya arya juga suka deh sama kamu.”
“Ajeng, apaan sih. Jangan
sotoy.”
Ajeng
hanya tertawa geli melihatku karena wajahku seketika berubah menjadi merah
bukan kepalang. Ajeng terus-terus saja menggoda ku. Hingga akhirnya kami pulang
dan sampai dirumah dan ajeng tak henti-hentinya menggoda ku.
****
Setelah
hampir sebulan lebih aku di jogja, dan menghabiskan banyak waktu bersama arya.
Tanpa kusadari ternyata aku telah menjatuhkan hati kepada pria berambut cepak
itu,ya dia arya. Aku menyayanginya, aku
tidak ingin kehilangan arya. Aku harus
mengutarakan segala perasaanku sebelum aku pulang ke Bandung. Tapi entah
bagaimana setelah aku yakin bahwa arya adalah sosok pria yang kucari selama
ini. Seketika harapan ku pupus, karena aku baru mengetahui tentang arya dari
cerita-cerita ajeng. karena ternyata kami tak bisa bersatu. Aku pikir ini sangat
menyakiti perasaan ku. Selama ini, begitu bodohnya aku sampai tak mengetahui hal
sekecil itu, dan sampai menaruh rasa kepadanya hingga sedalam ini. Tapi setelah
ku pikirkan lagi, apa boleh buat. Aku harus menyingkirkan perasaanku sejauh
mungkin. Untung saja belum sempat ku utarakan seluruh pearasaan ku terhadap
arya.
Malam
itu, malam terakhir ku di Jogja. Aku berjalan mnyusuri pantai bersama arya,
perjalanan kami malam ini semacam tanda perpisahan.
“Risa, maaf ya aku gak
bisa ngantarin kamu ke stasiun kereta besok siang.”
“kenapa? Kamu ada
kerjaan ya?” kataku.
“sepertinya besok aku
lembur sampai malam.”
“tapikan aku pulang
pas-pasan dengan jam isitrahatmu.”
“aku rasa aku juga
tidak akan istirahat diluar, karena kerjaan ku sudah menumpuk.”
“yasudah, tidak apa-apa
arya.”
“sa, ada yang mau aku
omongin sama kamu.”
“yaudah sih, ngomong
aja kali ya.”
Arya terdiam dan
memulai pembicaraan nya. “aku..”
“aku…”, “aku senang
bisa kenal sejauh ini sama kamu sa”
“iya, aku apalagi.
Senang banget malahan ya, makasih udah baik banget ama aku.”
“sama-sama” Percakapan
selesai. Aku dan arya bungkam sampai kami tiba di rumah.
Akhirmya kubuka
pembicaraan “arya, makasih ya buat waktu dan semua yang udah kamu kasi selama
aku disini. Aku sekalian pamit deh, sampai jumpa lain waktu ya arya. Aku tunggu
kamu main kebandung.”
“iya. Besok kamu
hati-hati ya sa.aku bakal rindu banget sama kamu. Aku pulang dulu” arya
berlalu.
****
Hari
ini aku pulang ke Bandung. Aku diantar oleh Ajeng. Sedih rasanya tak diantar
oleh arya. Tak mengapa, setidaknya kesedihanku tak berlipat ganda. Sesampaiku
di stasiun aku langsung masuk ke kereta. Dan berpamitan kepada ajeng. “ajeng
makasih banyak ya atas tumpangan nya, selama ini. Aku bakal kangen banget sama
kamu. Kutunggu ya kedatangannya di bandung.” Aku memeluk ajeng erat.
“iya sa, sama-sama. Oh
iya ini ada titipan dari arya.” Sambil memberikan surat besampul merah tak
bertuliskan nama tersebut.
“makasih ya jeng”
akhirnya kereta pun jalan, meninggalkan kota jogja dengan
kenangan manisku bersama arya.dan ajeng teman yang tak akan pernah ku lupakan. Kubuka surat
merah itu, didalamnya terdapat hiasan semacam pembatas buku berwarna merahh, yang
diberikan oleh arya. Seperti buatan tangannya sendiri. Lalu ku baca surat
tersebut.
Dear
risa,
Hai,
manusia ceria dan termanis yang pernah aku kenal. Kutebak, setelah kau membaca
surat ini, kau akan melakukan 2 hal. Yang pertama kau akan menangis seperti
bayi, dan yang kedua kau akan mengatakan bahwa aku bodoh. Maafkan aku yang tak
bisa mengantarmu pulang. Sebenarnya, bukan karena pekerjaanku yang menumpuk
dikantor. Hanya saja aku tak sanggup melepas kepergianmu nanti. Sengaja ku titipkan
surat ini kepada ajeng, agar kamu tak begitu sedih untuk pulang. aku akan ada
distasiun melihat mu pulang dari kejauhan. Semenjak kamu ada disini risa, kamu
berhasil bikin hidup aku warna-warni. Semenjak kamu datang kejogja kamu selalu
buat hidup aku lebih seru dan tak sabar memulai hari esok. Satu bulan lebih
menghabiskan waktu dijogja sama kamu, aku ngerasa aku hidup sa. Aku mau kita
bisa terus sama-sama. Tapi semuanya tak mungkin bagiku dan bagimu. Aku tahu
Tuhan memang satu. Namun, perbedaan kita membuat kita tak bisa bersatu, kita
tak sama risa. Agama yang telah kita pegang teguh tak mungkin kita ingkari. Aku
tau kamu sangat mencintai agamamu, begitu pula denganku. Dari ketaatan mu dalam
menjalani ibadahnya, aku tak mungkin merusak kepercayaanmu hanya karena aku
memaksakan diri masuk kedalam hidupmu. Apalah dayaku yang hanya bisa mengatupkan
tangan disaat engkau mengadahkan tangan untuk memohon doa kepada tuhan mu. Risa
maafkan aku atas ketidak beranianku untuk mengatakan semuanya kepadamu malam
itu. Karena, rasa gugup ku sudah melebihi keberanianku. Dan akhirnya kuputuskan
untuk menulis surat saja. Makanya ku alihkan dengan pembicaraan yang lain. Aku
tak ingin kamu sedih, karena kita memang tak ditakdirkan untuk bersama. Kuharap kita
bisa berlapang dada atas semua ini. Semoga waktu benar-benar obat dari segala
pilu. Aku tahu waktu bisa memisahkan, tapi takdir tak bisa kita sembunyikan,
dan hal itu nyata dan benar. Sejujurnya tak semudah ini membiarkanmu berlalu. Namun
biarkanlah rasa ini mati dengan sendirinya. Jika memang benar seperti yang
dikatakan ajeng kau memiliki rasa yang sama kepadaku, aku hanya meminta satu.
Aku ingin kau membebaskan hatimu tanpa beban apapun. Risa walaupun kita tak
bisa bersama biarlah doa-doa kita menyatu dalam ikatan persahabatan. Tetaplah
menjadi penulis dongeng yang hebat, tetap menjadi risa yang ceria dan tetaplah
menjadi risa yang taat pada Tuhannya. Semoga kau selalu bahagia. Terima kasih
atas semuanya ya sa. Aku sayang kamu, dan aku akan sangat merindukanmu.
Kututup surat itu dengan linangan air mata yang tak
terbendungkan lagi. Arya pria terhebat yang pernah aku kenal, kini telah ku
tinggalkan dengan berat hati bersama kisahku selama ini di jogja. Akhirnya
dongeng yang kubuat selama di jogja juga kututup dengan kesedihan. Karena hidup
selalu maju kedepan dan selalu penuh dengan kejutan disetiap harinya. Selamat
tinggal kenanganku, selamat tinggal Aryaku.
~
selesai ~
Langganan:
Komentar (Atom)
