Senin, 23 Mei 2016

Analisis Cepen "Kemarau" Karya Andrea Hirata

ANALISIS STRUKTUR DALAM CERPEN “ KEMARAU” KARYA “ANDREA HIRATA”
A.     Deskripsi Data
a.       Biografi Tokoh
1.      Andrea Hirata
Terlahir dengan nama Aqil Barraq Badruddin Saman Said harun. Penulis lahir di Belitung, 24 Oktober 1977. Iaadalah novelis yang telah merevolusi sastra Indonesia. Ia berasal dari Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Novel pertamanya adalah Laskra Pelangi. Sudah banyak sekali novel-novel yang lahir dari tangan Andrea Hirata. Beberapa diantaranya adalah : Laskar Pelangi (2005), Sang Pemimpi (2006), Edensor (2007), Maryamah Karpov dan masih banyak lagi yang lain. Meskipun stdi mayor yang diambil Andrea adalah ekonomi, ia juga amat menggemari sains-fisika, kimia,biologi dan sastra. Andrea juga mendapatkan beasiswa program master di Universitas Sheffield Hallam, Britania Raya.

b.      Sinopsis Cerpen “Kemarau” karya  Andrea Hirata
Kisah seorang pemuda yang selalu pergi ke tepi sungai dan memulai seluruh khayalan   masa lalunya berimajinasi kembali. Dan selalu saja emngingat isah tentang ayahnya yang selau berangkat kkerja pada pukul dua pagi. Dan disana juga ia memulai kisah masa lalu nya tentang banyak hal yang iya lalui dengan musim kemarau.

B.     Analisis Data
1.      Cerpen “Kemarau” karya Andrea Hirata
a.       Struktur Cerpen
1). Alur
1.         Keberadaan tokoh dikampungnya yang terkena kemarau yang berkepanjangan
2.         Tiada orang yang betah dirumah begitu juga diluar akibat kemarau.
3.         Tak ada hiburan yang menark ditengah kota.
4.         keberadaan tokoh aku menduga-duga dua buah patung yang dilihatnya di tengah kota.
5.         Tokoh menceritakan kisah museum.
6.         Tokoh mengatakan ada sebuah ruangan yang berisi tentang peninggalan para hulu baling antah barantah.
7.         Tokoh aku (Bujang) pergi kepinggir sungai setelah ditanyai oleh penjual tebu.
8.         Bujang duduk didekat kapal keruk timah daerah pinggir sungai.
8.1        Kapal keruk itu satu-satunya tempat melamun si Bujang yang pernah menjadi bagian penting dalam budaya nya.
8.2        Bujang tak pernah melupakan dimana truk pengangkut menjemput ayahnya setiap pukul dua pagi.
8.3        Dari dalam rumah Bujang mendengar salam yang diberikan ayahnya kepada teman-temannya.
8.4        Bujang mendengar gemerincing besi yang selalu beradu dan berlalu meninggalkan rumahnya.
8.5        Bujang senang melihat ayahnya melompat ke truk pengangkut.
8.6        Lalu Bujang tidur kembali setelah melihat ayahnya berangkat kerja.
9.         Sepuluh tahun  berlalu saat Bujang mengingat semuanya dirongsokan kapal keruk itu.
9.1        Bujang mengingat kembali jam di tenag=gah kota sudah menunjukkan pukul 5 dan musim masih kemarau, saat ia meninggalkan kampungnya dulu.
10.        Sepuluh tahun telah lewat, di saat Bujang melewati si penjual tebu dan pertanyaan nya masih saja sama.
11.        Bujang pergi ketepi sungai lagi dan melihat kapal keruk itu sudah tak ada.
12.        Bujang pergi ke tempat penjual tebu itu dan menanyai kemana pergi kapal keruk itu.
13.        Bujang sedih dikarenakan seluruh arkeologi industri telah dilanda tsunami.
14.        Bujang merasa ingin bergabung dengan pera pejuang 45.
15.        Itu semua tak dilakukan oleh Bujang. Diakibat kan karena ia terlambat pulang.
16.        Bujang kembali ke Jakarta dan hidup seperti biasa.
17.        Bujang terbangun pukul dua pagi akibat ia mendengar seperti suara truk yang bergemerincing seperti dimana ayahnya dijemput kerja dulu. Dan ia langsung merindukan ayahnya.





Bagan Urutan Sekuen Cerpen “Kemarau”
                       
            Bulatan yang tidak tertutup menunjukkan lamunan, sedangkan angka menunjukkan sekuen. Cerpen itu terdiri dari 17 sekuen berada pada saat penceritaan, dan 6 sekuen berada pada sorot balik (8.1-8.6),dan 1 sekuen pada sorot bolak balik (9.1) jadi seluruhnya ada 24 sekuen. Apabila dilihat kembali jumlah sekuen pada peceritaan ada  (17 sekeun) lebih banyak dari pada jumlah sekuen pada sorot balik. Maka jelaslah bahwa secara kronologis alur cerpen ini disusun menggunakan alur maju. Karena pada cerpen dijelaskan dari awal bahwa Bujang hanya mengingat-ingat sedikt masa lalunya. Lalu lebih banyak menceritakan kejadian yang terjadi setelah itu.

2). Penokohan
a.   Aku (Bujang)
Bujang merupakan sosok seorang pemuda yang hidup ditanaah dimana dulu tsunami
pernah terjadi. Bujang juga salah satu pemuda yang senang melamun di tepi sungai, mengingat
kembali masa-masa kecilnya.
            “mau ke pinggir sungai” jawabku dalam hati.
Dapat dilihat dari kutipan diatas, bahwa Bujang adalah seseorang yang sering pergi duduk
kesana untuk merenungi kembali masa lalunya.

3). Latar
 a.  Latar tempat
            Pinggir sungai merupakan latar tempat dalam cerpen ini. Karena didalam peristiwa ini
dapat dilihat dalam kutipan berikut.

            “mau kemana kau Bujang?” Tanya penjual tebu yang berteduh dibawah patung pejuang 45.
“mau ke pinggir sungai” jawabku dalam hati.

Dari kutipan diatas dapat dilihat bahwa Bujang ingin pergi kepinggir sungai  yang telah digambarkan oleh si pengarang.

b.                   Latar Waktu
Latar waktu pada cerpen ini telah digambarkan dari kutipan yang ada pada cerpen, salah
Satunya adalah:
“sering aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi”
Latar waktu yang telah ditampilkan dalam salah satu kutipan juga berdasarkan paparan diatas jelas bahwa latar waktu yang telah diketahui berada pada pukul dua pagi.
4). Tema
Berdasarkan cerpen yang telah dilampirkan. Jelas bahwa tema yang diangkat oleh pengarang adalah tentang  kisah –kisah lama yang terjadi dikampung Bujang. Yang mengingatkan Bujang akan semua masa lalunya. Dan musim pada saat itu tetap saja dengan musim kemarau.
           
                       




















KEMARAU
KARYA : Andrea Hirata
Barangkali karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena gerah. Barangkali karena musim kemarau terlanjur berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat tidak enak setelah bulan Maret sampai September.
Tak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di luar. Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk-liuk seperti belut sawah di atas panggung berhias pelepah kelapa di pinggir-pinggir pantai, lebih menyanyikan maksiat daripada lagu. Tapi itu hanya lama-lama sekali, pun kalau harga timah sedang bagus—yang amat jarang bagus.
Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat perbelanjaan untuk dikunjungi. Yang sedikit menarik perhatian hanya sebuah jam besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum panjangnya mengembuskan napas terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu ke mana. Melihat jam itu sejak kecil, aku punya firasat, bahwa nanti jika dunia kiamat, kejadiannya akan tepat pukul lima.
Penarik perhatian lainnya adalah dua buah patung, juga di tengah kota. Patung pertama berupa seekor buaya yang sedang melilit sebilah parang. Besar, tingginya mungkin enam meter. Sejak kecil pula aku telah berusaha mencerna makna filosofis patung itu, tapi selalu gagal. Aku hanya menduga-duga, buaya adalah perlambang lelaki hidung belang, maka, semua lelaki pembuat parang patutlah dicurigai.
Patung satunya lagi juga besar dan tinggi, adalah patung para pejuang kemerdekaan tahun 45. Lengkap dengan senapan dan bambu runcing. Mereka mengacungkan tinju dengan geram, siap menyikat Belanda. Juga sejak kecil aku bertanya-tanya, mengapa pematung membuat kepala patung-patung itu secara anatomis sangat besar? Baru belakangan ini kutahu jawabannya, yaitu di depan patung itu kini dipasang papan reklame dan di situ para politisi sering berbusa-busa membanggakan program-program mereka. Maka tampaklah kini para pejuang 45 itu seperti ingin menonjok mereka. Jika ingin tahu definisi dari visi seorang seniman, patung itu memberi contoh yang sangat pas. Jam besar, patung pejuang 45 dan papan reklame itu adakalanya bagiku tampak bak panggung parodi, adakalanya bak wangsit, dan adakalanya bak segitiga Bermuda, yang menyimpan misteri politik republik ini.
Namun, tak pernah kami risaukan semua itu sebab kami punya sebuah museum, dan museum kami adalah museum yang paling hebat di dunia ini. Tak ada yang bisa menandinginya sebab ia museum sekaligus kebun binatang.
Baiklah, mari bicara soal museum. Di sana ada sebuah ruangan yang jika dimasuki harus membuka sandal dan mengucapkan assalamualaikum demi menghormati tombak-tombak karatan, peninggalan para hulu balang antah berantah. Uang kecil diselipkan ke dalam kotak di samping tombak-tombak itu dapat menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng jodoh. Anak-anak yang tak sengaja menunjuk tombak itu harus mengisap telunjuknya agar tidak kualat.
Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan-hewan berkeliaran. Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi orang-orang yang ingin melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak serupa kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk kering stadium 4. Setiap kali dia batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di dalam kalbunya. Ada orangutan uzur yang sudah ompong dan tampak terang-terangan menafsui bebek-bebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama sekali. Lalu ada singa tua kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa itu sepertinya sangat benci pada hidupnya sendiri. Mereka muak melihat orang-orang udik yang menontong mereka di dalam kandang. Konon, mereka dihibahkan ke kampung kami karena telah afkir dari sebuah kebun binatang di Jawa, di mana mereka dianggap tidak sexy lagi. Namun, seperti segala sesuatu yang selalu kami terima apa adanya, seperti segala sesuatu yang tak pernah berubah di kampung kami, makhluk-makhluk hidup segan mati tak mau itu selalu punya tempat di dalam kebun binatang kami, di dalam hati kami. Hewan-hewan itu menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari jenisnya masing-masing, jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur-umur. Sungguh mengerikan hidup ini kadang-kadang.
“Mau kemana kau, Bujang?” sapa penjual tebu yang bertedu di bawah patung pejuang 45 itu. Malas aku menjawabnya. Karena ia selalu menanyakan hal yang sama padaku, setiap kali aku melintas di situ, dan karena aku terpana menatap propaganda yang dikoarkan politisi di papan reklame itu, megah bertalu-talu tentang perubahan-perubahan yang akan mereka buat. Tanpa mereka sadari, mata nanar mereka yang penuh optimisme tengah menatap jam besar yang telah rusak selama 46 tahun itu. Tanpa mereka sadari, para pejuang 45 mengacungkan tinjunya pada mereka.
“Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Jika kemarau makin menggelak, aku menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal keruk yang termangu-mangu di sana. Kapal itu tinggal segunung besi rongsokan. Mesin besar dan digdaya, dulu selalu dikagumi anak-anak Melayu. Ketika meskapai Timah masih berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi bumi untuk meraup timah. Kini, satu-satunya yang tertinggal, tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti fosil dinosaurus.
Kapal keruk pernah menjadi pendendangirama hidup kami, bagian penting dalam budaya kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama 24 jam. Tak kan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh kapal keruk menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah di pagi buta itu sambil menenteng rantang bekal makanan dari ibu.
Jika melihatku terbangun, ayah kembali untuk mengusap rambutku dan tersenyum. Dari dalam rumah kudengar ayah mengucapkan salam pada kawan-kawan kerjanya yang telah berdesakan di dalam bak truk. Kawan-kawan kerjanya itu adalah ayah-ayah dari kawan-kawanku. Lalu kudengar gemerincing besi beradu, kemudian truk menggerung meninggalkan rumah.
Sering aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi itu. Karena aku ingin melihat ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh wibawa, yang ada test pen di sakunya, yang berbau sangat lelaki. Ayah melangkah tangkas sambil menyandang ransel berisi tang, ragum, dan sekeluarga kunci Inggris. Kunci-kunci baja putih itu bila dibariskan akan membentuk segitiga yang sangat hebat. Kubayangkan, tugas-tugas yang berat diemban oleh bapak kunci paling besar, dan tugas-tugas sepele adalah bagian anak-anaknya. Aku senang melihat ayah melompat ke dalam bak truk. Dia, pria yang gagah itu, penguasa sembilan kunci Inggris anak-beranak itu, adalah ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi, sambil tersenyum.
Sepuluh tahun telah hangus sejak terakhir aku melamun di rongsokan kapal keruk itu. Jam besar di tengah kota tepat menunjukkan pukul 5 saat kutinggalkan kampungku dulu. Musim kemarau waktu itu. Sekarang, ketika aku kembali pulang, jam besar itu masih saja menunjukkan waktu pukul 5, dan musim masih kemarau.
“Mau ke mana kau, Bujang?” sapa penjual tebu waktu aku melintas dekat patung pejuang 45. Sepuluh tahun telah lewat, apa dia tak punya pertanyaan lain? Malas aku menjawabnya. Lagi pula aku tengah terpana menatap propaganda para politisi di papan reklame itu. Silih berganti mereka telah merajai papan itu. Periode demi periode mereka telah berkuasa. Silih berganti mereka telah berkoar soal perubahan-perubahan yang akan mereka buat, namun jam besar yang berada di depan hidung mereka telah rusak selama 56 tahun, tetap rusak selama 56 tahun, dan para pejuang 45, tetap mengacungkan tinjunya pada mereka.
“Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Aku melenggang pergi. Tapi sungguh merana. Sampai di sana, yang kutemui hanya semilir angin dan riak-riak halus gelombang. Bangkai kapal keruk itu telah lenyap, macam telah disulap seorang illusionist. Aku kembali. Pada penjual tebu aku bertanya.
“Pak Cik, ke mana perginya kapal keruk itu?”
“Sudah dipotong-potong menjadi besi kiloan,” jawabnya tak acuh sambil mengunyah tebunya yang tak laku. Aku terhenyak. Sirna sudah kenangan manis itu, lenyap sudah kebanggaan masa kecil itu, hapus sudah kebudayaan itu. Di kampung kami, arkeologi industri telah dilanda tsunami. Saat itu, rasanya ingin aku memanjat patung itu dan bergabung dengan pejuang 45. Namun tak kulakukan, karena aku sudah terlambat untuk pulang, sudah sore. Kulihat jam besar itu, sudah pukul 5.
Musim masih kemarau saat aku kembali ke Jakarta dan hidup berlangsung seperti biasa. Suatu malam aku terjaga. Pukul dua pagi waktu itu. Lalu seakan terdengar suara klakson mobil truk, dan menguar suara orang-orang mengucap salam. Kemudian kudengar suara gemerincing besi saling beradu. Kulihat ke luar jendela, seorang lelaki berkelebat dengan seragam mekaniknya yang hebat, lalu truk menggerung, pelan-pelan meninggalkan rumah. Aku termangu. Kerinduanku pada ayah semakin tak tertanggungkan.
Vancouver, Mei 2010
Diadaptasi dari salah satu bab dalam novel Padang Bulan dan Kisah-Kisah dari Negeri Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata



Tidak ada komentar:

Posting Komentar