ANALISIS STRUKTUR
DALAM CERPEN “ KEMARAU” KARYA “ANDREA HIRATA”
A. Deskripsi
Data
a.
Biografi Tokoh
1. Andrea
Hirata
Terlahir
dengan nama Aqil Barraq Badruddin Saman Said harun. Penulis lahir di Belitung,
24 Oktober 1977. Iaadalah novelis yang telah merevolusi sastra Indonesia. Ia
berasal dari Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Novel pertamanya adalah
Laskra Pelangi. Sudah banyak sekali novel-novel yang lahir dari tangan Andrea
Hirata. Beberapa diantaranya adalah : Laskar Pelangi (2005), Sang Pemimpi (2006),
Edensor (2007), Maryamah Karpov dan masih banyak lagi yang lain. Meskipun stdi
mayor yang diambil Andrea adalah ekonomi, ia juga amat menggemari sains-fisika,
kimia,biologi dan sastra. Andrea juga mendapatkan beasiswa program master di
Universitas Sheffield Hallam, Britania Raya.
b.
Sinopsis Cerpen “Kemarau” karya Andrea Hirata
Kisah seorang pemuda yang selalu
pergi ke tepi sungai dan memulai seluruh khayalan masa lalunya berimajinasi kembali. Dan
selalu saja emngingat isah tentang ayahnya yang selau berangkat kkerja pada
pukul dua pagi. Dan disana juga ia memulai kisah masa lalu nya tentang banyak
hal yang iya lalui dengan musim kemarau.
B. Analisis
Data
1.
Cerpen “Kemarau” karya Andrea
Hirata
a.
Struktur Cerpen
1).
Alur
1. Keberadaan tokoh dikampungnya yang terkena kemarau yang
berkepanjangan
2. Tiada orang yang betah dirumah begitu juga diluar akibat
kemarau.
3. Tak ada hiburan yang menark ditengah kota.
4. keberadaan tokoh aku menduga-duga dua buah patung yang
dilihatnya di tengah kota.
5. Tokoh menceritakan kisah museum.
6.
Tokoh mengatakan ada sebuah ruangan
yang berisi tentang peninggalan para hulu baling antah barantah.
7. Tokoh aku (Bujang) pergi kepinggir
sungai setelah ditanyai oleh penjual tebu.
8. Bujang duduk didekat kapal keruk timah
daerah pinggir sungai.
8.1 Kapal keruk itu satu-satunya tempat
melamun si Bujang yang pernah menjadi bagian penting dalam budaya nya.
8.2 Bujang tak pernah melupakan dimana truk
pengangkut menjemput ayahnya setiap pukul dua pagi.
8.3 Dari dalam rumah Bujang mendengar salam
yang diberikan ayahnya kepada teman-temannya.
8.4 Bujang mendengar gemerincing besi yang
selalu beradu dan berlalu meninggalkan rumahnya.
8.5 Bujang senang melihat ayahnya melompat
ke truk pengangkut.
8.6 Lalu Bujang tidur kembali setelah melihat
ayahnya berangkat kerja.
9. Sepuluh tahun berlalu saat Bujang mengingat semuanya dirongsokan
kapal keruk itu.
9.1 Bujang mengingat kembali jam di
tenag=gah kota sudah menunjukkan pukul 5 dan musim masih kemarau, saat ia
meninggalkan kampungnya dulu.
10. Sepuluh tahun telah lewat, di saat
Bujang melewati si penjual tebu dan pertanyaan nya masih saja sama.
11. Bujang pergi ketepi sungai lagi dan
melihat kapal keruk itu sudah tak ada.
12. Bujang pergi ke tempat penjual tebu itu dan
menanyai kemana pergi kapal keruk itu.
13. Bujang sedih dikarenakan seluruh
arkeologi industri telah dilanda tsunami.
14.
Bujang merasa ingin bergabung
dengan pera pejuang 45.
15.
Itu semua tak dilakukan oleh
Bujang. Diakibat kan karena ia terlambat pulang.
16. Bujang kembali ke Jakarta dan hidup
seperti biasa.
17. Bujang terbangun pukul dua pagi akibat
ia mendengar seperti suara truk yang bergemerincing seperti dimana ayahnya
dijemput kerja dulu. Dan ia langsung merindukan ayahnya.
Bagan Urutan Sekuen Cerpen “Kemarau”
Bulatan
yang tidak tertutup menunjukkan lamunan, sedangkan angka menunjukkan sekuen.
Cerpen itu terdiri dari 17 sekuen berada pada saat penceritaan, dan 6 sekuen
berada pada sorot balik (8.1-8.6),dan 1 sekuen pada sorot bolak balik (9.1)
jadi seluruhnya ada 24 sekuen. Apabila dilihat kembali jumlah sekuen pada
peceritaan ada (17 sekeun) lebih banyak
dari pada jumlah sekuen pada sorot balik. Maka jelaslah bahwa secara kronologis
alur cerpen ini disusun menggunakan alur maju. Karena pada cerpen dijelaskan
dari awal bahwa Bujang hanya mengingat-ingat sedikt masa lalunya. Lalu lebih
banyak menceritakan kejadian yang terjadi setelah itu.
2). Penokohan
a. Aku (Bujang)
Bujang
merupakan sosok seorang pemuda yang hidup ditanaah dimana dulu tsunami
pernah
terjadi. Bujang juga salah satu pemuda yang senang melamun di tepi sungai,
mengingat
kembali
masa-masa kecilnya.
“mau ke pinggir sungai” jawabku
dalam hati.
Dapat
dilihat dari kutipan diatas, bahwa Bujang adalah seseorang yang sering pergi
duduk
kesana
untuk merenungi kembali masa lalunya.
3). Latar
a.
Latar tempat
Pinggir sungai merupakan latar
tempat dalam cerpen ini. Karena didalam peristiwa ini
dapat
dilihat dalam kutipan berikut.
“mau kemana kau Bujang?” Tanya
penjual tebu yang berteduh dibawah patung pejuang 45.
“mau
ke pinggir sungai” jawabku dalam hati.
Dari
kutipan diatas dapat dilihat bahwa Bujang ingin pergi kepinggir sungai yang telah digambarkan oleh si pengarang.
b.
Latar
Waktu
Latar
waktu pada cerpen ini telah digambarkan dari kutipan yang ada pada cerpen,
salah
Satunya adalah:
“sering
aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi”
Latar waktu yang telah
ditampilkan dalam salah satu kutipan juga berdasarkan paparan diatas jelas bahwa
latar waktu yang telah diketahui berada pada pukul dua pagi.
4).
Tema
Berdasarkan cerpen yang telah
dilampirkan. Jelas bahwa tema yang diangkat oleh pengarang adalah tentang kisah –kisah lama yang terjadi dikampung
Bujang. Yang mengingatkan Bujang akan semua masa lalunya. Dan musim pada saat
itu tetap saja dengan musim kemarau.
KEMARAU
KARYA : Andrea
Hirata
Barangkali
karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati
tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena gerah. Barangkali
karena musim kemarau terlanjur berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat
tidak enak setelah bulan Maret sampai September.
Tak ada
yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di luar.
Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk-liuk seperti belut sawah di atas
panggung berhias pelepah kelapa di pinggir-pinggir pantai, lebih menyanyikan
maksiat daripada lagu. Tapi itu hanya lama-lama sekali, pun kalau harga timah
sedang bagus—yang amat jarang bagus.
Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau
pusat perbelanjaan untuk dikunjungi. Yang sedikit menarik perhatian hanya
sebuah jam besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum
pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum
panjangnya mengembuskan napas terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik
telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu ke mana. Melihat jam itu sejak
kecil, aku punya firasat, bahwa nanti jika dunia kiamat, kejadiannya akan tepat
pukul lima.
Penarik perhatian lainnya adalah dua buah patung, juga di
tengah kota. Patung pertama berupa seekor buaya yang sedang melilit sebilah
parang. Besar, tingginya mungkin enam meter. Sejak kecil pula aku telah
berusaha mencerna makna filosofis patung itu, tapi selalu gagal. Aku hanya
menduga-duga, buaya adalah perlambang lelaki hidung belang, maka, semua lelaki
pembuat parang patutlah dicurigai.
Patung
satunya lagi juga besar dan tinggi, adalah patung para pejuang kemerdekaan
tahun 45. Lengkap dengan senapan dan bambu runcing. Mereka mengacungkan tinju
dengan geram, siap menyikat Belanda. Juga sejak kecil aku bertanya-tanya,
mengapa pematung membuat kepala patung-patung itu secara anatomis sangat besar?
Baru belakangan ini kutahu jawabannya, yaitu di depan patung itu kini dipasang
papan reklame dan di situ para politisi sering berbusa-busa membanggakan
program-program mereka. Maka tampaklah kini para pejuang 45 itu seperti ingin
menonjok mereka. Jika ingin tahu definisi dari visi seorang seniman, patung itu
memberi contoh yang sangat pas. Jam besar, patung pejuang 45 dan papan reklame
itu adakalanya bagiku tampak bak panggung parodi, adakalanya bak wangsit, dan
adakalanya bak segitiga Bermuda, yang menyimpan misteri politik republik ini.
Namun, tak
pernah kami risaukan semua itu sebab kami punya sebuah museum, dan museum kami
adalah museum yang paling hebat di dunia ini. Tak ada yang bisa menandinginya
sebab ia museum sekaligus kebun binatang.
Baiklah,
mari bicara soal museum. Di sana ada sebuah ruangan yang jika dimasuki harus
membuka sandal dan mengucapkan assalamualaikum demi menghormati tombak-tombak
karatan, peninggalan para hulu balang antah berantah. Uang kecil diselipkan ke
dalam kotak di samping tombak-tombak itu dapat menyebabkan pendermanya awet
muda dan enteng jodoh. Anak-anak yang tak sengaja menunjuk tombak itu harus
mengisap telunjuknya agar tidak kualat.
Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan-hewan
berkeliaran. Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi
orang-orang yang ingin melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak serupa
kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk kering stadium 4. Setiap
kali dia batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya
memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di dalam
kalbunya. Ada orangutan uzur yang sudah ompong dan tampak terang-terangan
menafsui bebek-bebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama
sekali. Lalu ada singa tua kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa
itu sepertinya sangat benci pada hidupnya sendiri. Mereka muak melihat
orang-orang udik yang menontong mereka di dalam kandang. Konon, mereka
dihibahkan ke kampung kami karena telah afkir dari sebuah kebun binatang di
Jawa, di mana mereka dianggap tidak sexy lagi. Namun, seperti segala sesuatu
yang selalu kami terima apa adanya, seperti segala sesuatu yang tak pernah
berubah di kampung kami, makhluk-makhluk hidup segan mati tak mau itu selalu
punya tempat di dalam kebun binatang kami, di dalam hati kami. Hewan-hewan itu
menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari jenisnya masing-masing,
jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur-umur. Sungguh mengerikan hidup
ini kadang-kadang.
“Mau
kemana kau, Bujang?” sapa penjual tebu yang bertedu di bawah patung pejuang 45
itu. Malas aku menjawabnya. Karena ia selalu menanyakan hal yang sama padaku,
setiap kali aku melintas di situ, dan karena aku terpana menatap propaganda
yang dikoarkan politisi di papan reklame itu, megah bertalu-talu tentang
perubahan-perubahan yang akan mereka buat. Tanpa mereka sadari, mata nanar
mereka yang penuh optimisme tengah menatap jam besar yang telah rusak selama 46
tahun itu. Tanpa mereka sadari, para pejuang 45 mengacungkan tinjunya pada
mereka.
“Mau ke
pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Jika kemarau makin menggelak, aku
menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal keruk yang
termangu-mangu di sana. Kapal itu tinggal segunung besi rongsokan. Mesin besar
dan digdaya, dulu selalu dikagumi anak-anak Melayu. Ketika meskapai Timah masih
berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung kampung, menderu siang dan malam,
mengorek isi bumi untuk meraup timah. Kini, satu-satunya yang tertinggal,
tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti fosil dinosaurus.
Kapal
keruk pernah menjadi pendendangirama hidup kami, bagian penting dalam budaya
kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama 24 jam. Tak
kan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh kapal keruk
menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah di pagi buta itu
sambil menenteng rantang bekal makanan dari ibu.
Jika
melihatku terbangun, ayah kembali untuk mengusap rambutku dan tersenyum. Dari
dalam rumah kudengar ayah mengucapkan salam pada kawan-kawan kerjanya yang
telah berdesakan di dalam bak truk. Kawan-kawan kerjanya itu adalah ayah-ayah
dari kawan-kawanku. Lalu kudengar gemerincing besi beradu, kemudian truk
menggerung meninggalkan rumah.
Sering aku
minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi itu. Karena aku
ingin melihat ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh wibawa, yang ada test
pen di sakunya, yang berbau sangat lelaki. Ayah melangkah tangkas sambil
menyandang ransel berisi tang, ragum, dan sekeluarga kunci Inggris. Kunci-kunci
baja putih itu bila dibariskan akan membentuk segitiga yang sangat hebat.
Kubayangkan, tugas-tugas yang berat diemban oleh bapak kunci paling besar, dan
tugas-tugas sepele adalah bagian anak-anaknya. Aku senang melihat ayah melompat
ke dalam bak truk. Dia, pria yang gagah itu, penguasa sembilan kunci Inggris
anak-beranak itu, adalah ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi,
sambil tersenyum.
Sepuluh
tahun telah hangus sejak terakhir aku melamun di rongsokan kapal keruk itu. Jam
besar di tengah kota tepat menunjukkan pukul 5 saat kutinggalkan kampungku
dulu. Musim kemarau waktu itu. Sekarang, ketika aku kembali pulang, jam besar
itu masih saja menunjukkan waktu pukul 5, dan musim masih kemarau.
“Mau ke
mana kau, Bujang?” sapa penjual tebu waktu aku melintas dekat patung pejuang
45. Sepuluh tahun telah lewat, apa dia tak punya pertanyaan lain? Malas aku
menjawabnya. Lagi pula aku tengah terpana menatap propaganda para politisi di
papan reklame itu. Silih berganti mereka telah merajai papan itu. Periode demi
periode mereka telah berkuasa. Silih berganti mereka telah berkoar soal
perubahan-perubahan yang akan mereka buat, namun jam besar yang berada di depan
hidung mereka telah rusak selama 56 tahun, tetap rusak selama 56 tahun, dan
para pejuang 45, tetap mengacungkan tinjunya pada mereka.
“Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Aku
melenggang pergi. Tapi sungguh merana. Sampai di sana, yang kutemui hanya
semilir angin dan riak-riak halus gelombang. Bangkai kapal keruk itu telah
lenyap, macam telah disulap seorang illusionist.
Aku kembali. Pada penjual tebu aku bertanya.
“Pak Cik,
ke mana perginya kapal keruk itu?”
“Sudah
dipotong-potong menjadi besi kiloan,” jawabnya tak acuh sambil mengunyah
tebunya yang tak laku. Aku terhenyak. Sirna sudah kenangan manis itu, lenyap
sudah kebanggaan masa kecil itu, hapus sudah kebudayaan itu. Di kampung kami,
arkeologi industri telah dilanda tsunami. Saat itu, rasanya ingin aku memanjat
patung itu dan bergabung dengan pejuang 45. Namun tak kulakukan, karena aku
sudah terlambat untuk pulang, sudah sore. Kulihat jam besar itu, sudah pukul 5.
Musim
masih kemarau saat aku kembali ke Jakarta dan hidup berlangsung seperti biasa.
Suatu malam aku terjaga. Pukul dua pagi waktu itu. Lalu seakan terdengar suara
klakson mobil truk, dan menguar suara orang-orang mengucap salam. Kemudian
kudengar suara gemerincing besi saling beradu. Kulihat ke luar jendela, seorang
lelaki berkelebat dengan seragam mekaniknya yang hebat, lalu truk menggerung,
pelan-pelan meninggalkan rumah. Aku termangu. Kerinduanku pada ayah semakin tak
tertanggungkan.
Vancouver, Mei 2010
Diadaptasi dari salah satu bab dalam novel Padang Bulan dan Kisah-Kisah dari
Negeri Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata